Kopi Agama Kedua Saya”
Tren usaha kuliner berbasis kopi banjir di Medan. Hampir setiap sudut kota menyajikan sajian menu minuman variasi kopi. Tentu bisa bertahan di tengah gempuran para rival, butuh strategi beda daripada yang lain. Inilah yang ditawarkan Kopi Tiam Ong. Sebuah tempat tongkrongan dari berbagai usia di kawasan Dokter Mansur No 39 Medan.
Jika Anda mengaku pecinta kopi, jangan menyandang label tersebut kalau belum pernah singgah ke tempat yang satu ini. Kopi Tiam Ong hadir dengan konsep oriental jaman dulu dengan campuran suku Jawa. Anda akan lupa sudah berapa lama duduk di lokasi ini, karena sangat nyaman untuk media bincang bisnis, kuliah, pribadi bahkan soal hati. Tempatnya romantis dengan lampu-lampu kuno dengan balutan kain merah di bagian atas.
Masuk ke dalam, langkah Anda akan terhenti melihat sebuah papan yang dipajang tepat di atas pintu toilet. Kumpulan kata-kata yang dirangkai jadi kalimat mujarab untuk Anda yakin telah memilih tempat yang tepat. Sang owner, Salimin Djohan Wang menyebutnya filosofi Kopi Tiam Ong. “Minum cangkir pertama sebagai orang asing, minum cangkir kedua bagaikan teman, minum cangkir ketiga bagaikan saudara,”
Di sini, Anda bisa menikmati nikmatnya sajian kopi khas dari Sumatera Utara dan Aceh. Kopi asli Sidikalang, Lintong, Aceh Gayo Lues diracik menjadi berbagai jenis minuman. Satu diantaranya kopi terbalik, yang merupakan minuman favorit si empunya usaha. Kopi disajikan dengan mulut gelas berada di tapakan piring dan menyeruputnya dari pinggiran piring yang bebas ampas kopi. Aromanya jangan tanya, sangat harum. Selain minuman, di sini juga ada berbagai makanan yang nasi dan mie beserta turunannya. Makanan ringannya juga tak kalah menggugah selera, Loempia Tap Kejoe Tjoklat, Pao Kacang Merah, oebi goreng di antaranya.
Salimin Djohan merintis usaha ini sejak tahun 2009. Awalnya dia mengaku tak sengaja terjun ke dunia kopi, bahkan dia menyebutkan dijerumuskan. Pria ini bukan penggemar kopi, diapun tak pernah merasa menjadikan kopi bagian dari minuman yang sehari-hari disukainya. “Jadi bertolak belakang dengan orang-orang yang sekarang terjun ke dunia kopi, karena memang mereka gemar minum kopi. Harus saya katakan saya menghindari kopi pada awalnya karena pahit. Tidak ada niat masuk ke kuliner kopi,” ujarnya kepada Majalah Pengusaha Indonesia.
Dia mengurai, punya bisnis ini lantaran ingin menginvestasikan tempat. Dia membeli sebuah rumah di pinggir Jalan Dokter Mansur, sebuah kawasan yang sangat strategis karena dekat dengan kampus Universitas Sumatera Utara (USU). Dia tak punya ide mau digunakan untuk apa tempat ini, lalu dia membuka kos-kosan di lantai dua sebanyak 12 kamar. “Saya cari orang lain untuk disewakan. Lalu saya katakan ke teman, mau enggak bisnis makanan di sini. Lokasi dekat USU lumayan banyak anak kampus. Saya hanya katakan pada teman saya itu, buatlah seperti kedai kopi. Saya bilang saya suka kedai kopi, bukan karena kopinya. Karena saya senang konsep kedai kopi yang saya jumpai pada umumnya waktu itu adalah tempat berkumpulnya komunitas kota, yang orang menghabiskan waktu dengan mengobrol bisnis dan sosialisas. Keterbukaannya saya suka. Mau naik mobil atau beca kumpul jadi satu. Dan yang paling dasar kedai kopi bisnis jual air,” paparnya.
Kepada temannya, pria yang punya nama tionghoa Ong Sun Ching ini memastikan soal kopi akan dihandlenya dengan mencari ke lokasi manapun termasuk mengcover keuangan juga tempat. Dan, temannya hanya bertugas mengoperasikan dengan merekrut SDM. “Saya konsep tempat ini dengan campuran tempo dulu seperti rumah nenek saya di Delitua. Kesan jadul dipajang di dinding kedai,” kenangnya.
Karena belum mengenal kopi, pria yang akrab disapa Djohan ini awalnya serautan membeli bahan baku kopi, tanpa riset kopi mana yang punya kualitas. Usaha tak berjalan mulus, Djohan dituntut membuka jam operasional cukup panjang dari pukul 06.00 WIB hingga 24.00 WIB. Karena inilah, temannya tersebut menyerah, karena waktunya banyak tersita di Kopi Tiam Ong dan masalah keluarga jadi terabaikan. “Saya terpaksa menutup usaha selama dua minggu, sebuah keputusan berat. Karyawan dirumahkan semua. Ini usaha dikasih ke sana total, saya bingung bahan baku dan peralatan sudah dibeli. Sempat berpikir menyerah, karena kesannya merepotkan saja. Yang jadi menarik, setelah seminggu tutup saya dapat pencerahan. Bagaimana pemilik kedai kopi jaman dulu bisa eksis sampai puluhan tahun dan menyekolahkan anaknya, padahal mereka rata-rata tidak terdidik secara bisnis. Lah saya anak muda punya latar belakang bisnis kok malah menyerah. Lalu saya berembuk ke istri (Nangcy Winata). Saya urus minuman, istri urus makanan. Dia setuju, lalu kami telepon karyawan yang sudah dirumahkan,” kenangnya.
Kembali merintis sajian kopi, Djohan banyak belajar dari konsumennya. Dalam menyajikan kopi, Djohan selalu bertanya ke konsumennya apa kekurangan kopinya. “Terus saya bilang saya minta sarannya, ada yang bilang kopi ditambah, kalau boleh kopi agak mendidih airnya. Kalau bisa beli kopi di tempat ini. Saya langsung cari dan beli kopi itu, di situlah saya belajar kopi, saya belajar kopi dari konsumen. Dan hebatnya walau jelek (kopinya) dibayar. Saya belajar dibayar uang sekolah,” ujarnya sambil tersenyum.
Bapak satu anak ini juga belajar via internet tentang kopi. Kini, jangan ragukan kemampuannya meracik kopi. “Dunia yang paling hebat ada di internet, saya pelajari soal kopi. Sehingga saya mengerti kopi yang bagus. Sampai hari ini mendengar nama Kopi Tiam Ong, kami salah satu yang terbaik, menurut saya kopinya orang suka. Dan, yang membuat bisnis ini berjalan bukan lagi soal kopinya, tapi di mana Anda minum kopi,” tegas pria kelahiran 27 Desember 1968 ini.
Tahun 2010, Kopi Tiam Ong mencapai titik sukses. Menurut Djohan, targetnya menjadi kedai kopinya sebagai rumah ketiga setelah rumah tempat tinggal, kantor atau kuliah baru Kopi Tiang Ong berhasil. Akhir tahun 2010, Djohan kemudian membuka kedai kopi lainnya bernama Republik di kawasan Setia Budi. Republik, beda konsep dengan Kopi Tiam Ong, karena konsepnya republik Belanda kolonial, sebuah rumah bekas peninggalan Belanda dengan menu lebih ke western.
Berjalan setahun kemudian, Djohan membuka Kopi Tiam Ong lainnya di Jalan Kapten Muslim. Istrinya tidak lagi terjun langsung mengurus makanan, tapi sudah mempersiapkan racikan dari rumah sampai hanya memberikan ‘how to’ memasak kepada bawahannya. “Saya belajar dari KFC bisa menjalankan bisnis dari jauh, bagaimana sistem memasarkan itu yang tidak bisa dikuti,” ucap alumni S1 Universitas Nomensen Fakultas Ekonomi ini.
Alumni S2 Institut Pengembangan Indonesia ini tak takut dengan persaingan kuliner kopi yang sedang booming. Menurutnya bisnis bukan soal merasa tersaingi dan menyaingi. “Saya enggak mau masuk ke bisnis me too. Saya enggak mau berdarah-berdarah dan menghindari laut merah. Karena kesukaan Anda membuat bisnis itu bertahan karena mamu memberikan pemikiran yang besar ke dalamnya. Semua akan seleksi alam, keunikan yang baik yang memberikan kesan yang baik ke kosumennya akan membuat konsumen balik. Ratusan tahun lalu, kakek nenek buyut kita sudah melakukan hal yang sama (bisnis kopi), ratusan tahun ke depan mungkin konsepnya beda dna kosumen maunya beda tapi kedai kopi akan tetap jadi rumah ketiga,” tukas pria yang sejak SMP sudah kenal bisnis lantaran membantu orang tuanya yang fokus di usaha perabot rumah tangga.
Mantan pegawai bank ini tak bisa dibendung lagi untuk berkreasi, termasuk sudah punya pabrik kopi yang dibuatnya di garasi rumah. Selain, kedai kopi yang sudah tiga, pabrik kopi, dia juga masih menjalankan bisnis bingkai desain dan air. “Pabrik kopi di garasi yang punya kapasitas pabrik. Saya terinspirasi Steve Job yang memulai inspirasi di garasi. Kopi hasil racikan di pabrik saya jual ke teman-teman saya. Kalau boleh dibilang saaT ini kopi adalah agama kedua saya,” beber mantan karyawan Indofood ini.
Merintis usaha dengan istri, lanjutnya memang enak. Tapi jika boleh memilih, dia mengaku lebih enak masing-masing. “Tapi saya pikir ada sisi baiknya adalah seseorang bia melihat hal yang saya tidak bisa melihat dengan baik yaitu sisi kewanitaan dengan menjalanan bisnis bersama yaitu sikap kehati-hatian, lebih hitubng-hitungan. Itu poin positif. Sepanjang bisa membedakan mana bisnis dan rumah tangga jangan membawa ribut di bisnis ke rumah, nanti sampai rumah tidur laga pantat. Semua bisa berjalan baik,” pungkas pria yang menolak meneruskan usaha orangtuanya dan ingin mandiri. (nina rialita/terbit di Majalah Pengusaha Indonesia,